Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 12 Maret 2013

Cast:
Yang Seungho MBLAQ as Jang Seungho
Reader as Hwang Seorin


Pagi yang cerah menyapa pinggiran kota Busan. Matahari masih tampak malu menyapa  dari tenggara tapi suasana hangat sudah terasa. Ini adalah pekan keempat musim semi di Korea Selatan. Salju yang dulu menyelimuti setiap jengkal permukaan Busan, kini sudah sepenuhnya mencair. Pepohonan yang dulunya putih kini sudah bersemi. Tak ketinggalan Pohon Cherry yang selalu dinantikan seminya juga hampir sempurna bersemi. Berbagai festival khas musim semi juga mulai dinantikan masyarakat Negeri Gingseng.
Sebuah mobil melaju cukup kencang di jalanan lenggang tak jauh dari Pantai Dadaepo. Seorang pria mengendara di dalamnya. Hanya ia seorang. Ia tampak segar dengan senyum kecil yang tergambar di wajahnya. Sebuah senyum kecil yang menggambarkan semangat baru.
Pria itu tiba di sebuah rumah hunian setelah 15 menit perjalanannya meninggalkan jalanan dari Pantai Dadaepo. Ia memarkirkan mobilnya di depan gerbang kecil rumah tersebut. Lantas, ia turun dari mobil dan merogoh saku dalam blazer-nya. Ia keluarkan sebuah kunci dan ia membuka gembok gerbang. Sejenak ia terdiam dan ragu membukanya.
                “Sudah lama, bukan? Kuharap ini membuatku lebih baik,” gumam pria itu di kediamannya.
Lalu, dengan mantap pria itu membuka kunci dan masuk ke pekarangan rumah itu. Dilihatnya bangunan rumah yang bergaya moderen berdiri kokoh dengan cat putih bersih yang membuatnya tampak bersahabat. Sebuah jalan selebar tiga meter menyapanya menuju pintu bak red carpet  yang menyapa tamu negara ke Istana Presiden. Taman kecil di sisi kanan dan kirinya terlihat rapi dan bersih. Pria itu semakin bersemangat masuk ke rumah. Ia membuka pintu rumah dan masuk.
Pria itu terdiam lagi saat masuk ke dalam rumah. Namun, sesaat kemudian ia tersenyum. Apa dia gila? Ah, tidak. Ia tersenyum karena melihat bingkai foto seukuran 100x50 cm yang terpampang di ruang tamu.
                “Lihatlah dirimu? Bagaimana kau bisa melakukan itu?” katanya sambil memandangi foto itu kemudian berlalu.
Dengan perasaan yang lebih lega dan nyaman, dia melangkah ke kamarnya, melewati sebuah ruang TV yang terpampang Grand Piano hitam mengkilat di samping kanannya.
                “Masih sama. Ah! Jinjja! Harusnya kau menemaniku sekarang!” ocehnya pada sebuah bingkai foto di kamarnya. Kemudian ia membuka gordyn kamarnya agar cahaya matahari masuk dan dengan spontan dia meloncat ke ranjang. Rasa kantuk yang hebat mendadak menyerangnya. Mungkin karena ia terlalu lelah menyetir semalam dari Seoul ke Busan, ditambah lagi suasana di kamarnya yang amat ia rindukan semakin menghebatkan kantuknya.
***
Oppa, bangun! Oppa! Kajja!” kudengar suara lembutmu membangunkanku. Aku pura-pura tak medengar, padahal kau berada tepat disampingku.
Oppa, palli!” kau belum menyerah membangunkanku.
Biarlah, aku ingin menikmati waktu seperti ini. Saat kau membangunkanku dengan lembut. Aku ingat, dulu kau sering membangunkanku dengan kasar dan brutal. Bahkan kau kadang tak membangunkanku. Kau berangkat kerja sendiri dan membiarkanku terlambat. Dan kini kau berubah 180 derajat. Sungguh, aku menikmati saat ini.
Ne, arraseo! Aku jogging sendiri!” omelnya karena tak berhasil membangunkanku. Kurasakan dari ranjang, kau beranjak meninggalkanku. Langsung saja aku bangun dan menarik lenganmu hingga wajahmu tepat 10 cm dari wajahku. Kutampakkan tatapan mataku yang dalam. Kau menelan ludah. Wajahmu memerah. Aku tahu, kau gugup. Jongmal, aku menikmati saat-saat seperti ini.
“Kau mau meninggalkanku lagi?” tanyaku nyengir, merubah ekspresi wajahku sebelumnya. Kau menyipitkan matanya.
Oppa! Kau mulai genit, ya? Dasar Playboy Kacangan!” katamu manyun.
Ya! Kau bilang apa? Dasar! Kalau kau mengataiku lagi akan kucium kau!” godaku.
“Aaaa! Andwae!” kau mencoba melapaskan diri sambil tertawa.
Aku tak lantas membiarkanmu. Aku mengelitikimu di ranjang. Berkali-kali kau mencoba lari dan membalas, tapi bagaimanapun aku tetap menang darimu, kan? Oh Tuhan, terimakasih karena Engkau mendatangkanku istri seperti Seorin. Walau awalnya hanya sekedar perjodohan yang kami anggap konyol, tapi setelah semua hal bodoh dan menyebalkan, akhirnya kami bisa menyesuaikan bahkan menikmati hari-hari di sisa hidup kami.
Pagi ini adalah pagi pertama di musim semi yang kulewatkan dengan tenang bersama gadis yang kucintai. Setelah banyak gadis yang lalu lalang di hidupku, akhirnya aku menemukan satu. Seorin adalah gadis pertama yang membuatku meledak-ledak, gadis pertama yang benar-benar hinggap dihatiku.
Sepanjang langkah lari kecil kami, aku mencuri-curi pandang padamu. Kau cantik sekali, kurasa kau mirip dengan aktris cantik Shin Min Ah. Bahkan, ketika kau sedang berlari dengan butiran keringat yang menempel di keningmu, kau masih cantik.
“Aku capek!” katamu tiba-tiba berhenti.
“Oo, ya sudah. Kita istirahat dulu!” balasku.
“Ck. Kau ini tidak peka, ya?”
“Peka?” tanyaku bingung.
“Ini artinya aku memintamu menggendongku!”
“Hahaha begitu, ya? Arraseo, naiklah!” aku menyiapkan punggungku, lalu kau naik.
“Gendong aku sampai di pantai, ya?”
Mwo? Yang benar saja! Pantai Dadaepo masih 2 km lagi!”
“Ayolah! Kau bilang kau mencintaiku dan melakukan apapun yang kuminta?”
“Hah? Kapan aku bilang begitu?”
“Semalam! Kau lupa? Semalam kau bilang Seorin-ah, naneun saranghae begitu,”
“Ah itu, aku sudah lupa,” aku pura-pura lupa padahal jelas aku mengingatnya.
“Mwo? Secepat itu? Kotjimal!”
“Aku tidak berbohong!”
“Eh, kalau kau capek aku bisa turun sekarang,”
Aniyo. Sampai pantai baru kuturunkan,”
Omoo, kau romantis sekali. Naneun johayo,” katanya senang.
Aku turut menyinggungkan senyum. Sebenarnya aku hanya ingin kau sedekat ini denganku. Sebisa mungkin aku ingin membuatmu nyaman walau hanya di punggungku.
Sesampainya di pantai, kami istirahat, duduk di hamparan pasir putih sambil memandangi ombak bergulung. Pantai Dadaepo, salah satu pantai primadona di Busan. Dan pagi ini, aku dan Seorin hanyut diantara ketenangan pagi di pantai ini. Hanya suara angin dan ombak. Langit masih belum sepenuhnya terang karena matahari belum tampak utuh dari persembunyiannya semalaman. Udara juga masih sangat segar.
Oppa,” panggil Seorin yang seketika bersandar di bahu kiriku.
Wae?” tanyaku.
“Kurasa aku ingin berhenti. Mianhae,” katanya dengan nada suara putus asa, seakan ia baru saja kehilangan separuh jiwanya.
Tapi, apa maksudmu ingin berhenti? Kau ingin bercerai? Sungguh, kata ‘cerai’ bagaikan bom waktu yang bisa sewaktu-waktu meledak. Sungguh berbeda dengan beberapa bulan lalu, kata ‘cerai’ adalah kata yang paling indah untukku.
“Maksudmu?” aku memastikan.
“Aku ingin berhenti jadi pianis,” katamu lesu.
Huh lega rasanya mendengar jawabanmu. Tapi kenapa itu jawabanmu?
Wae? Itu cita-citamu, kan? Kau bilang musik adalah hidupmu,”
“Memang. Tapi, bukankah kau juga hidupku?”
Demi Tuhan, kalimat itu hampir membuatku lemas seketika. Aku adalah hidupmu? Benarkah? Benarkah demi aku kau merelakan cita-citamu?
“Kau tidak perlu mengorbankan cita-citamu untukku. Kejarlah apa yang kau inginkan!”
“Tidak. Maksudku, aku tidak ingin lagi tampil di panggung. Aku ingin membuat laguku sendiri. Aku ingin menjadi komposer. Untukmu dan untuk kita,” katamu sambil menatapku dengan mata penuh suka cita.
“Untukku?” aku masih tak mengerti maksudnya.
“Aku ingin memberikan seluruh ciptaanku kelak hanya untukmu. Aku ingin, kau menjadi orang yang menjadi saksi hidupku. Aku ingin kau menjadi orang pertama yang mendengar musikku, orang pertama yang memahami musikku, orang pertama yang akan menyukai dan mengkritik musikku,” jelasmu panjang masih dengan menatapku penuh makna. Sungguh aku tak pernah membayangkanmu akan berkata seperti ini.
“Tapi, bagaimana dengan Mozart dan Beethoven? Bukankah kau ingin seperti mereka? Pianis yang selalu dielukan di masanya dan masa sekarang?” aku mengingatkannya pada pianis idolanya.
“Em… memang iya. Tapi kurasa itu mustahil. Bethoven saja bisa membuat lagu  saat ia tuli, dan Mozart, karya pertamanya ia ciptakan saat berumur lima tahun. Jadi, apa menurutmu aku bisa menyamai mereka?”
“Em… mungkin untuk menyamai sulit. Tapi, jika untuk mengejar, aku yakin kau bisa berjarak beberapa meter dari mereka. Kau juga hebat.”
“Hahaha… Yiruma saja belum kukalahkan, apalagi mereka? Tapi terimakasih sudah menghiburku,” katamu setelah tertawa.
Menurutku kau bisa menyamai Yiruma, pianis Korea.
“Ada lagi… bolehkah aku memperdalam musik di Wina? Hanya satu bulan.”
Seketika kelegaanku hilang. Wina? Austria?
“Wina? Kenapa harus Wina? Kenapa tidak di sini?” tanyaku tak suka.
Sungguh aku benci jika kau pergi.
“Disana banyak pianis dan komposer terkenal. Bethoven, Mozart, Chopin. Karya mereka lahir disana. Aku ingin juga belajar di sana.”
“Aku bisa membayar pengajar di sana agar mau mengajarimu di sini.”
Tiga detik kemudian, tanpa isyarat apapun kau merangkulku.
Jebal! Kau tidak perlu takut, oppa. Aku tidak akan berpaling darimu. Aku janji,” katamu sayu.
Ya itulah yang kutakutkan. Kau akan berpaling.
“Tapi…”
“Aku janji,” potongmu cepat.
Aku menarik nafas dalam.
“Baiklah, jika itu pilihanmu, aku akan menghargainya,” balasku dengan berat hati.
Hatiku seakan retak. Retak yang akan semakin parah dan kemudian patah. Kau mempererat pelukanmu. Pelukan ini rasanya menjadi hambar dan pahit.
 Gomawo. Kau tidak perlau khawatir. Sebelum musim panas selesai, aku pasti sudah di rumah. Aku janji. Jika kau khawatir, letakkan tangan kananmu di dadamu dan katakan naneun gwenchana,” katamu tersenyum sambil meletakkan tangan kananmu di dada.
Aku hanya terdiam mendengar kalimatmu. Rasanya sangat berat mendengarmu bicara seperti itu.

Semenjak kejadian itu, semua menjadi lebih baik. Kehidupanku dan juga perasaanku. Tak ada yang lebih nyaman daripada bersamamu. Bahkan, memikirkanmu saja sudah cukup nyaman bagiku.
Drrttt… ddrrtt…. Ponsel-ku berdering. SMS dari Seorin. Dia mengajakku ke festival musim semi. Ok, bukan ide yang buruk.
Seusai jam kerja, aku segera melaju ke tempat janjianku dan Seorin kemudian kami ke tempat festival.
“Seongho-ah!” panggil Seorin padaku.
Aku melihatnya tengah berdiri di samping pintu sebuah resto Jepang. Dia mengenakan skinny jeans dengan atasan kemeja putih panjang. Aku suka itu. Ia terlihat lebih casual dan sederhana.
“Sudah lama, ya?” tanyaku padanya.
“Tidak. Aku juga baru datang.”
“Paspormu sudah selesai?” tanyaku mengingatkan akan paspormu karena pekan depan lagi kau berangkat ke Wina.
“Sudah selesai. Kajja! Aku dengar ada banyak pertunjukan dan souvenir,” ajakmu langsung menarik pergelangan tanganku.
Kau mengajakku berkeliling tak jelas. Melihat barang ini dan itu tanpa membeli suatu apapun. Melihat pertunjukan ini dan itu, kemudian ikut bersorak seperti pengunjung lain. Setelah itu kau mengajakku berkeliling lagi.
“Eh, lihat itu!” wajahnya mendadak sengak melihat sepasang anak seusia siswa SMA yang sedang berfoto bersama.
Wae?”
“Ayo kita foto seperti itu!”
“Hah? Shireo! Kita bukan anak-anak lagi!” tolakku.
“Ayolah! Kita tidak pernah berfoto, kan?” rengekmu.
Kau benar. Kita tidak pernah berfoto bersama. Tapi, apakah harus berfoto seperti mereka?
“Ya, sudah. Ayo!” aku setuju. Aku segera merogoh ponsel dari saku dan mengambil dua tiga foto kita.
“Sudah. Kau senang?” sindirku padamu.
Kau hanya tersenyum girang layaknya gadis kecil yang baru saja menghabiskan permennya.
“Ayo keliling lagi!” ajakmu sambil berlalu meninggalkanku.
Diantara hiruk-pikuk festival, seakan hanya terdengar satu alunan harpa yang memenuhi gendang telingaku saat bersamamu. Aku seperti melihat sisi lainmu. Seorin yang jauh dari kemewahan, Seorin yang jauh dari kesombongan, Seorin yang lepas dari jeratan status sosial. Kini yang kulihat adalah Seorin yang lain. Seorin yang mau merubah hampir semua bagian hidupnya. Seorin yang rela melepas cita-citanya untukku. Seorin yang lupa ingin memersembahkan karyanya untukku. Apa kau sungguh-sungguh? Apa aku berdosa karena menghapus sebagian dari dirimu?
Mianhae,” ucapku tiba-tiba.
Kau menoleh heran padaku dan bertanya, “Wae?”
Aku tak menjawab. Kau membalasku dengan senyum tenang.
“Ayo pulang!” ajakmu.

Gwenchanayo?” tanyamu saat kita masuk dalam mobil.
Aku mengangguk dan membalas pendek, “Aku tidak apa-apa.”
Kau menggenggam tangan kananku. Saat itu juga jantungku memompa darah lebih cepat.
“Aku hanya pergi sebentar. Jangan khawatir!” ucapmu seakan kau tahu apa yang tersirat dalam otakku.
Aku bahkan tak sadar kalau aku khawatir akan hal itu sekarang.
“Saat aku kembali nanti, kau pasti sudah bisa mendengarnya,” lanjutmu.
Mendengar apa? Lagumu?
“Jika nanti kau suka lagu itu, kau bisa menyerahkannya ke agensi. Aku pastikan lagu itu meledak di pasaran,” lanjutmu lagi.
“Aku tidak ingin lagu itu jadi secepat itu. Kau kembali, itu hal yang paling membahagiakan untukku,” balasku.
“Benarkah? Tenang saja, aku akan pulang begitu selesai pelatihan.”
“Aku akan menunggumu. Ngomong-ngomong kita mau kemana sekarang? Kau tidak lapar?”
Seafood! Ayo kesana! Aku ingin makan sushi!”
“Tidak! Tidak baik terlalu sering makan sushi. Kita masak di rumah saja!” larangku sembari men-starter mobil dan melaju pulang.
Mwo? Kita? Kita apanya? Unjung-ujungnya juga aku yang memasak! Sudahlah makan sushi saja. Kalau tidak kita makan kimchi, atau bimbimbap, atau daging panggang. Aku sedang malas memasak!”
“Tidak! Kita masak saja!”
Perdebatan kami berlanjut. Sekarang soal menu masakan dan sepanjang jalan Seorin kami terus adu mulut. Seorin, aku malas berdebat, tapi aku suka saat seperti ini.

Hari demi hari kami lalui bersama. Setiap hal yang kami lalui telah terukir indah di memori otakku. Bahkan cara bicaranyanya bisa kudengar jelas walau ia tak ada bersamaku. Apa ini? Perasaan ini tak pernah kurasakan sebelumnya.
Hari ini, Rabu, 25 Maret 2009, Seorin sangat sibuk. Ia sibuk mengecek isi koper-koper besar yang sudah ia siapkan semalam di dekat sofa di ruang TV. Ia juga mondar-madir ke kamar mengecek barang yang belum ia bawa. Entah sudah berapa kali ia mengeceknya.
Oppa, apa kau melihat baju hangat yang bulan lalu kubeli?” tanyamu selagi berjalan tergesa-gesa ke kamar.
“Kau sudah memasukkannya ke koper merah itu dan kau juga bertanya itu sejam yang lalu,” kataku datar sambil mengaduk kopi.
“Masa? Ya ampun, kenapa aku jadi pelupa?” kau kembali lagi.
Aku menyeruput kopiku lalu menyusulnya ke ruang TV. Kau terduduk kesal.
“Kau sudah mengeceknya berkali-kali. Bahkan tadi malam kita mengeceknya bersama dua kali. Tenang saja!”
“Tapi kurasa masih ada yang ketinggalan.”
“Tidak. Tenang saja!”
Kau masih berfikir keras mengingat. Memangnya apa lagi? Kau sudah mencatat semua yang kau perlukan dan semuanya sudah kau bawa. Apa lagi? Tiba-tiba pandanganku tertuju pada Grand Piano di ruangan seberang.
“Seorin-ah, kau tidak mau memainkan lagu untukku? Sebulan nanti aku tidak akan mendengarmu bermain piano lagi,” pintaku asal.
Kau menoleh, menyunggingkan senyum semangat. Kau selalu bersemangat untuk bermain piano. Bahkan jika terjadi perang antara Korea Selatan dan Korea Utara, kau tak akan tegang seperti warga sipil lainnya saat kau memainkan tuts di pianomu.
“Oke.”
Kau melompat bangkit dan melangkah panjang, lalu kau duduk di kursi di depan Grand Pianomu. Kau mengambil nafas panjang, membuka penutup tuts. Sejenak kau terdiam memandangi  tuts demi tuts itu dan dua detik kemudian kau mulai memainkannya.
Fur Elise. Kau memainkan Fur Elise. Karya sang legenda, Ludwig Van Beethoven, idolamu. Kau tampak sangat menikmati permainanmu. Matamu jeli memerhatikan tuts yang kau tekan satu demi satu. Kau tak melihat lembaran partitur di atas piano. Ya kau sudah terlalu hafal tiap not di partitur itu.
Suara senar-senar piano itu mulai memenuhi setiap sudut ruangan ini. Rasanya seperti tenggelam di lautan melodi. Alunan ini, sedikit menyayat hatiku. Lagu ini, seakan menjadi salam perpisahanmu. Aku sadar, kau akan segera pergi. Walau hanya satu bulan, tampaknya akan terasa satu tahun.

Selasa, 24 April 2009. Sepulang kerja aku menyempatkan diri mampir ke toko buku untuk membeli buku 2008 Manufactur System. Aku menjelajahi rak demi rak untuk mencari buku itu. Setelah sekitar 15 menit aku mencari, akhirnya aku menemukannya. Kemudian aku melangkah ke kasir untuk membayar. Ketika sampai di kasir, aku melihat poster buku baru berjudul “Beethoven The Legend”. Aku sontak teringat Seorin. Dia sangat megagumi Beethoven. Sudah hampir sebulan ia pergi, sebentar lagi ia pulang. Semoga hadiah kecil ini bisa menyenangkannya.
“Maaf, aku juga ingin buku yang itu,” pintaku pada petugas kasir sambil menunjuk poster tadi.
Ye, chankkaman!” balasnya kemudian mengambil buku itu di rak sampingnya.
Setelah dari toko buku aku bergegas pulang. Selagi menyetir, aku meraih ponsel-ku di saku baju, lalu aku menelfon Seorin.
“Yeobboseo,” sapa Seorin dari telepon.
“Jangan lupa lusa!”
“Iya, aku tak lupa. Kau mau oleh-oleh apa?”
“Terserah saja. Oh, iya, kau sudah makan?”
“Belum. Oh, iya, aku sedang perjalanan ke Museum Klasik bersama teman-temanku. Kau mau souvenir?”
“Boleh juga. Tapi, jangan lupa makan dan jangan makan seafood lagi!”
 “Iya! Iya! Eh kau tahu, aku baru saja mendapat partitur Beethoven Moonlight Sonata no 14.”
“Jinjja? Selamat!”
“Ne. Hampir 2 tahun aku mencari info soal itu, tapi aku tak mendapatkannya. Eh, kami hampir sampai. Aku tutup, ya?”
“Arraseo,” tutupku. Seorin mematikan telepon.
Senang rasanya menunggumu pulang.
Dini hari pukul 3, telepon rumahku berdering. Membangunkanku dari istirahat malam di ranjangku. Telepon dari Wina. Seorang pria. Ia bicara dalam bahasa Inggris.
Istri Anda menjadi salah satu dari korban luka kecelakaan lalu lintas 4 jam yang lalu pada kilometer 7 dari Museum Klasik Wina… ,” jelasnya panjang lebar di telepon.
Sekejap saja aku merasa kehilangan ragaku. Aku tak terlalu memerhatikan suara pria di telepon. Aku tak bisa berfikir. Tapi tanganku segera meraih ponsel-ku di kamar dan kukirimkan SMS berita ini ke orangtuaku dan mertuaku.

Pagi, siang, dan sore berlalu. Kini malam telah tiba. Aku berdiri di balik pagar balkon rumah sakit. Memandangi kerlap-kerlip lampu kota Seoul yang terasa hambar. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Bahkan, aku tak tahu harus merasakan apa. Aku merasa seperti sebuah patung. Ponsel-ku bergetar. Sebuah SMS masuk memintaku menuju ruang ICU sekarang juga.
Kupejamkan mata bahkan pada lorong redup yang perlahan kutinggalkan. Dapat kurasakan angin malam yang mulai melemah meraba kulitku perlahan. Kuatur udara yang lalu lalang kuhembuskan.
Naneun  gwenchana. Cukup dua kata itu dan letakkan telapak tanganmu di dadamu” kalimat itu terngiang sejak tadi. Jelas terngiang walau itu hanyalah ilusi. Mungkinkah aku siap mendengarnya?
Langkah kakiku hampir sampai pada sebuah pintu di sebuah lorong yang terang. Jauh lebih terang dari lorong tadi. Eomma, appa, ayah mertuaku, dan adikku. Mereka menatapku. Tatapan yang sangat dalam dan penuh makna. Aku sedikit menyinggungkan bibirku. Aku tersenyum. Tapi hanya sebuah senyum kecil yang tak berarti. Namun, setidaknya mereka tahu kalau aku masih baik-baik.
“Seungho-ssi, masuklah! Tinggal kau yang berhak penuh atasnya,” kata pria itu.
Aku masuk. Perlahan tapi pasti, aku mendekatimu. Aku bisa melihatmu.
Gwenchanayo?” tanyaku sambil mengelus dahinya lembut.
Entah mengapa nafasku mendadak memberat saat menyantuhnya. Tanganya terluka, tergores, tapi hanya luka ringan.
“Apa kau membaik sekarang?” tanyaku lagi.
Nafasku terasa sangat berat dan hampir tak kurasakan.
 “Apa sudah tidak sakit?” tanyaku sekali lagi dengan bibir yang mulai bergetar.
Semuanya terasa berat.
Arraseo,” Kataku perlahan dan hampir tanpa suara.
Aku mulai menitik.
“Tidurlah! Kau bisa istirahat sekarang,” bibirku masih bergetar, bahkan kini merambat ke punggungku.
Bibirku kelu. Apa yang kutahan sejak tadi, kini tak dapat kubendung. Air mata ini mengalir begitu saja dari ujung pelupuk mataku.
Seorin-ah, mianhae! Hanya sekali ini! Biarkan aku menangis disampingmu sekali saja. Hanya untukmu. Biarkan air mata ini jatuh didepanmu. Ini tak akan sepadan dengan semua kata perpisahan yang sudah kau dengar tadi dan nanti.
“Seorin-ah! … Gajima!” aku makin terisak sambil memeluk jasadnya. Walaupun ia tak dapat merasakannya, setidaknya dia melihatku sekarang. Betapa aku akan sangat kehilangan dia.
***
Oppa, bangun! Oppa! Kajja!” suara itu terdengar samar-samar di telinga pria itu, Jang Seungho.
Ia melihat sekelilingnya. Lalu, ia menghela nafas untuk menenangkan pikirannya. Mimpi yang melandanya bak sebuah film dokumenter yang diputar kembali. Dilihatnya frame foto besar di kamar itu. Itu adalah ia dan istrinya, Seorin. matanya hampir berkaca, namun ia menahannya dengan senyum kecil.
“Aku merindukanmu. Bogoshipo,” katanya dalam hati.
Kemudian pria itu hendak keluar dari kamar. Namun, matanya tertuju pada 3 buah koper besar. Itu adalah koper Seorin yang dibawa pulang bersamanya tiga tahun yang lalu. Ia tertarik untuk membukanya.
Pria itu membuka salah satu dari koper itu dan ia mendapati sebuah kotak kado biru. Ia membukanya. Ada sebuah partitur, surat, dan handycam. Ia membaca surat di dalamnya.
Selamat ulang tahun. Saengil chukkae hamnida.
Semoga kau selalu bahagia dan menyukai musikku.
Aku mencintaimu.
Hwang Seorin. 29 April 2009.
Wajah pria itu panik setelah membaca surat itu. Ia lantas mengambil sebuah handycam yang ada bersama surat itu di dalam kotak. Ia menghidupkannya dan melihat sebuah file video kemudian memutarnya.
Pria itu sangat kaget melihat video yang diputarnya. Video itu adalah rekaman istrinya, Seorin, yang sedang memainkan piano. Permainan piano yang sangat indah berdurasi 4 menit. Pria itu meneteskan air mata.
Lewat satu jam pria itu di dalam rumah. Ia memutuskan untuk pulang, kembali ke Seoul.
“Terimakasih atas lagumu. Lagumu sangat indah. Gomawo,” kata pria itu sambil memandangi kotak kado yang ia temukan di koper tadi.
Lantas pria itu mengemudikan mobilnya. Ia pulang ke Seoul. Meninggalkan sebagian kenangannya di Busan. Ia sangat bahagia karena bisa menemukan kado itu. Kado yang belum sempat Seorin berikan padanya. Partitur lagu yang pertama dan terakhir dari Seorin.
Tamat

Mianhae kalo jelek chingu. Kebetulan author ada tugas cerpen. Sekalian di post aja. :)

;;

Template by:
Free Blog Templates